Thursday, February 16, 2006


Small part of human race Posted by Picasa

Sunday, August 14, 2005

Penting Gak Penting Suara di Iklan

Besok saya dijadwalkan rekaman untuk iklan radio. Kata bos, nyuri piala CP paling gampang ya lewat iklan radio. Sementara teman-teman sesama penulis naskah bilang, iklan radio adalah tempat buat copywriter bekerja tanpa “diganggu” art director (AD). Ah, saya cuma bisa bilang, bikin iklan radio gak gampang. Entah kenapa, saya suka ngeri duluan kalau ditugasi bikin iklan radio, meski akhirnya ya jadi juga.

Tiba-tiba kepikiran, kenapa di agency gak ada jabatan sound director (ada gak sih?). Kalo teks ada copywriter dan visual ada AD, kenapa gak ada yang ngurusin suara? Apa suara gak penting-penting banget?

Sebuah situs periklanan (mungkin Advertising Age, saya lupa) pernah melaporkan bahwa pamor jingle iklan semakin menurun. Iklan ber-jingle dianggap kuno. Akibatnya, banyak perusahaan (atau studio) pembuat jingle gulung tikar.

Tapi, masih ingat gak sih film G30S/PKI yang dulu diputar setiap 30 September? Ngeri banget tuh film. Sering saya nonton dengan menutupi mata dengan tangan. Tapi tetep aja ngeri. Seharusnya telinga juga disumbat. Karena musik latar dan efek suara film cukup kuat untuk membuat bulu-bulu berdiri.

Jadi, siapa bilang suara gak penting? Faktanya, dalam situasi tertentu gelombang suara lebih ampuh daripada gelombang cahaya. Saat Anda membaca buku, misalnya, perhatian bisa tercuri saat terdengar suara atau musik yang menarik. Bahkan ketika sumber suara berada di balik dinding kamar. Gelombang cahaya gak punya kekuatan menginterupsi seperti ini.

Pengalaman Glenn Marsalim saat menganggur memperkuat argumen bahwa unsur suara belum digunakan secara maksimal dalam iklan-iklan lokal:

Ternyata voice over di tv emang perlu. Kreatif kan suka ribut "kan udah ada supernya, gak usah VO lagi dong!" Man, gak deh... ternyata kalau lagi nonton televisi, orang males kalau disuruh baca. Lebih seneng diceritain. Apalagi kalau nontonya sambil internetan, sambil tiduran (dalam kasus gue), sambil telepon, dll.

Ternyata lagu di iklan tvc itu besar perannya. Belakangan banyak lagu di iklan yang mirip satu sama lain. Jenis musik yang serupa. Padahal sering loh, karena musik yang ear catching, gue jadi memperhatikan tvc-nya. Kayak musik tvc Dove Shampoo. TVC-nya emang secara eksekusi bagus tapi idenya mah ya biasa.Musiknya itu menarik karena beda sama tvc-tvc lain. Entrasol Gold juga menarik lagunya.


Pengelola kreatif biro iklan mungkin masih menganggap posisi penata suara belum perlu. Tapi, seperti diketahui, posisi copywriter juga pada awalnya dianggap nggak penting. Mungkin gak ya? Wallahualam.

Friday, August 12, 2005

Sandal Jepit Bucin

Di artikel Cakram terbaru, Indonesia tercatat sebagai negara ASEAN dengan perolehan award kreatif iklan internasional paling miskin.

(sigh)

Tadi siang gue sm anak kantor sholat jumat. Pas masuk mesjid, Bucin menyimpan sendal jepitnya di atas pagar. Semula gue bingung. Mau ngumpetin sendal supaya gak ketuker (atao diambil) kok malah ditaro lebih atas dibanding sendal-sendal lainnya. Sendirian pula. Bukannya malah menarik maling sendal untuk ngambil?

Sepanjang khotbah jumat, (lagi-lagi) gue gak khusuk. Malah sibuk mikirin sendal jepit Bucin. Dan gue menemukan (mudah2an) jawaban. Sendal jepit ditaro di atas pagar, meski sendirian, tapi malah akan luput dari perhatian maling. Sebab maling terbiasa mencari sendal bagus diantara tumpukan sendal.

See? Gue bukannya lagi megang klien sendal. Cuma kepikiran aja, kenapa Indonesia dibilang paling gak kreatif. Buat sebuah negara dengan regulasi iklan seperti ini, pasar seperti ini dan pemahaman klien seperti ini, orang iklan di Indonesia bisa jadi pembuat iklan paling kreatif. Bucin contohnya. Bucin tahu betul psikologis maling (pasar), celah pagar(media) dan produknya (sendal jepit biru). Akal-akalannya jalan. Strategi menyiasati pasar-nya bekerja baik. Itu juga
yang dilakukan Capuccino Djarum Black-nya Macs909. Dan masih banyak lagi.

Pasar kita memang pasar iklan yang dibilang norak. Kalo bikin iklan "keren" yang pesennya gak ditangkep pasar, kan malah mengkhianati tujuan periklanan. Apalagi TVC. Audience-nya TV nasional yaa emang pasar yang "norak" itu. Iklan keren cuma efektif ditempatkan di majalah mahal ekslusif. Pasar terbesar juga orang-orang "norak" itu. Jenis konsumen heavy viewer yang gajinya selalu abis menuhin kebutuhan sehari-hari, tanpa berpikir investasi. Jadilah mereka pembeli potensial.

"Yang para praktisi iklan kita lakukan sudah hebat. Mengakali aturan, berbicara dengan bahasa pasar dan meningkatkan penjualan." Dan itu menggunakan daya kreatifitas yang tinggi. Bayangin aja, Bucin aja sampe mikir sekreatif dan sejauh itu tentang cara menyimpan sendal supaya gak ilang.

Tentang pembuktian kreatifitas di ajang internasional? Bukan kreatifitas kali. Tapi selera. Mereka bikin iklan gitu mungkin karena selera publiknya gitu. Mereka bikin visual dengan warna tertentu karena psikologis warna sekitarnya begitu. Coba perhatiin deh. Kenapa foto dengan latar belakang tempat di luar negeri keliatan lebih bagus, dibanding kita berfoto di jakarta. Padahal sama aja temanya. Cuma ambiencenya beda. Warnanya beda. Mereka ngambil warna sehari-hari untuk diaplikasi di iklannya. Kita bilang keren. Kita ngambil warna sekitar kita untuk iklan. Kita bilang norak.

Apa bedanya "wes ewes ewes bablas anginne" nya Antangin sama "Zoom-zoom"nya Mazda? Zoom-zoom lebih keren. Keren menurut standarnya siapa? Standarnya orang yang selalu mencocokan seleranya dengan selera negara maju.

Merdeka-lah Indonesia.

Arya Gumilar
SemutApi Colony

Wednesday, August 10, 2005

Relevan Tapi Relevan


Image hosted by Photobucket.com


Buat gue iklan ini bagus. Gue pengen bisa bikin iklan kayak begini (ups, kalo menurut bos, harus bilang; “pengen bikin yang melebihi iklan anu.” Becareful what you wish for, katanya).

Oke, mulai dari copy-nya. Cara si kreator menyentuh pembaca mengenai isu pengungsian sangat menarik. Seolah-olah kata-kata yang tertulis benar-benar terlahir dari pengungsi. Kalau bukan, gue nebak, penulis naskah punya kepekaan yang luar biasa. Dia berhasil menemukan suara terdalam dari seorang pengungsi: alasan utama pengungsi adalah menghindari kematian. Sesederhana itu. Sejujur itu.

Berikut bunyi bodycopy (kalau ente males ngeklik image to enlarge):

Imagine giving up everything. Home, job, car, partner, kids, country. What would make you leave your entire life behind? The change to scrounge social security benefits? Scam a free council bedsit? How about to escape false imprisonment, torture, rape, and death threats? A person doesn’t choose to be a refugee. It’s forced on them. If your own government was after you, wouldn’t you flee? We’re not saying everybody who turns up deserves British passport. But every asylum seeker deserves a fair hearing. Send back a genuine refugee and you could be sending an innocent person to their death. www.refugeecouncil.org.uk

Visualnya jelas. Komposisi yang “asal-asalan,” pemilihan font, warna grayscale, memperkuat pesan yang disampaikan. Kerasa banget situasi perang dan kondisi serba kacau di negeri asal pengungsi. Gue gak bisa ngomong lagi soal visualnya. Yang jelas makin tambah ngeri (yang memang dimaksudkan demikian tentunya).

Copy iklan ini mengajak pembaca melihat masalah pengungsi dari sudut korban. Dan visualnya membantu pembaca untuk menghayati keseluruhan pesan tertulis. Sayangnya, gue gak tau tujuan kampanye iklan ini. Jadi gak bisa mengira-ngira berhasil nggaknya iklan ini. Apa elu tau? Komen aja bos.

Berikut adalah dua iklan lainnya;

Image hosted by Photobucket.comImage hosted by Photobucket.com

Thursday, August 04, 2005

My Problem

Dear Ann: I have a problem. I have two brothers. One brother is in advertising. The other was put to death in the electric chair for murder. My mother died from insanity when I was three years old. My two sisters are prostitutes and my father sells narcotics to grade school students. Recently, I met a girl who was just released from a reformatory where she served time for killing her dog with a ball-peen hammer, and I want to marry her. My problem is, should I tell her about my brother who is in advertising?

Tuesday, August 02, 2005

Ladies Day


Image hosted by Photobucket.com

Fortunately, not all creative people work with paper and boards


Image hosted by Photobucket.com


Sebuah iklan perusahaan creative e-marketing. Click the image to enlarge.

Sunday, July 31, 2005

Mediocre Wordsmith

Pekerjaan pertama saya bukan bikin iklan. Sekitar dua minggu setelah diwisuda, saya diajak gabung menjadi jurnalis di sebuah situs. Baru tiga tahun kemudian, diberi kesempatan jadi orang iklan sebagai penulis naskah.

Awalnya, pede-pede aja masuk ke dunia ini. Toh, punya bekal ilmu menulis di tempat kerja sebelumnya. Ternyata, perkiraan itu salah. Menjadi copywriter, bukan cuma perkara menulis. Bukan hanya soal menjelaskan kelebihan produk kepada khalayak konsumen. It’s all about discovering ideas.

Setelah berbulan-bulan berkecimpung, saya (merasa) gak jago bikin ide. Biasa banget. Kalau istilah di buku-buku iklan mah “mediocre”-lah. Kalau pun dapet ide yang lumayan, gak pernah jadi dipublished. Paling cuma nyampe di ruang meeting klien.

Saat tulisan ini dibuat, tiba-tiba partner saya menyela ngasih kabar finalis Daun Muda Award lewat Yahoo! Messenger. “We’re not on the list. We failed,” katanya. There it goes. One more proof, I’m a bloody mediocre wordsmith.